Dra. Muliati

Menulis itu jiwa dan nyawa. Jika masih bisa menulis berarti jiwa dan nyawa masih sehat. Pupuklah itu selagi ada kesempatan. Menulislah kap...

Selengkapnya
Navigasi Web
PAHITNYA SEBUAH PERJANJIAN Part ke (4)  TANTANGAN MENULIS HARI KE (9)

PAHITNYA SEBUAH PERJANJIAN Part ke (4) TANTANGAN MENULIS HARI KE (9)

Akupun menuju ke tempat meja guru yang berada di pojok kanan depan. Di sana aku mulai megisi agenda harian dan agenda kelas. Waktu sudah menunjukkan pukl 08.45 berarti lima belas menit lagi akan berakhir jam 1 dan 2. Tugas anak-anak dikumpulkan. Setelah itu aku memberi ulasan tentang tugas yang tadi. Akhirnya bel pergantian jam berbunyi. Aku ke luar dari kelas itu sambil mebawa buku tugas anak-anak ke kantor.

 

Jam ke- 3 dan 4 aku tidak mengajar. Kesempatan memeriksa tugas yang saya bawa ke kantor tadi. Belum lagi memulai memeriksa tugas siswa, seorang guru membawa anak ke dalam ruangan guru. Anak itu sedang tertunduk malu dimarahi. Semakin lama suara pak guru semakin tinggi dan “plakkkk…,” tangan pak guru melayang ke pipi anak tersebut. Seiring teriakanku, “Auuuu!”  Sambil memegang pipiku yang terasa sakit.   Padahal bukan aku yang kena tampar. Tapi mengapa saya merasakan sakit. Anak itu tidak menangis. Dia diam dan menundukkan kepalanya. Ketika tamparan yang kedua, “ Auuuu,” aku tak tahan lagi melihatnya.

 

Aku berteriak dengan keras, “Jangannn….” Sambil kupegang kedua pipiku. Saat itu juga tempeleng pak guru mengakibatkan wajah anak itu mengarah kepadaku. Astagfirullah, ternyata anak yang di kelas kuajar tadi. Anak yang diam menunduk tak pernah melihat atau menatapku sewaktu mengajar.

 

Mendengar teriakanku pak guru langsung bicara kepadaku, “Ibu, kalau ibu tidak bisa melihat anak nakal begini, jangan ibu duduk di sini pergi ke luar sana.” Kini darahku yang sudah mulai naik melihat perlakuan Pak guru yang dikenal dengan Si Tangan Besi itu.

 

“Pak Guru, sekarang saya bertanya, saya yang tidak pantas di sini atau Pak Guru? Menampar anak seenaknya, di ruang guru lagi. Bapak sudah mempermalukan dia di depan kita-kita ini.” Teman-teman yag ada dalam ruangan itu terkejut melihat keberanianku. Mereka melongo melihatku bicara. Mereka mungkin tidak menyangka aku berani bicara lantang seperti itu karena tak ada satupun guru yang berani melawannya atau menasihatinya.

 

 

Satu-satunya guru yang berani protes terhadap  tindakannya adalah aku. Aku tidak tega melihat anak-anak diperlakukan semena-mena. Pak guru satu itu, kalau tidak menampar anak dalam satu hari saja, mungkin dia sakit.

 

Pernah sewaktu saya mengajar di kelas 2 listrik 1 hari Rabu tepatnya, dia memanggil anak yang terlambat pada hari Selasa lewat pengeras suara. Disuruh datang ke kantor. Aku tidak izinkan. Anak merasa takut dan memohon agar aku mengizinkannya. Mereka bilang, “Kalau ibu tidak izinkan, kami akan ditampar, Bu.”

Dalam hatiku, “Ini tidak bisa saya biarkan. Saya harus bertindak.” Langsung saya bilang sama anak-anak, “Pokoknya Ibu yang bertanggung jawab. Sekarang kalian belajar dulu, nanti ibu yang urus.”

 

Sewaktu aku menjelaskan materi, tiba-tiba si Tangan Besi datang ke kelas dan langsung memanggil anak tersebut agar keluar. Langsung aku ajak bapak itu berbicara agar anak ini tidak boleh dibawa karena belajar di jam Bahasa indonesia, jadi, bapak berhak membawa anak ini.

 

Aku melihat anak sudah ketakutan. Tapi, aku cepat-cepat atasi ketakutan mereka, “Tenang, nanti ibu yang urus. Sekarang, lanjutkan saja belajarnya. Akhirnya, bapak tersebut pergi dengan muka yang tidak karuan.

 

Aku berteriak dengan keras, “Jangannn….” Sambil kupegang kedua pipiku. Saat itu juga tempeleng pak guru mengakibatkan wajah anak itu mengarah kepadaku. Astagfirullah, ternyata anak yang di kelas kuajar tadi. Anak yang diam menunduk tak pernah melihat atau menatapku sewaktu mengajar.

 

Mendengar teriakanku pak guru langsung bicara kepadaku, “Ibu, kalau ibu tidak bisa melihat anak nakal begini, jangan ibu duduk di sini pergi ke luar sana.” Kini darahku yang sudah mulai naik melihat perlakuan Pak guru yang dikenal dengan tangan besi itu.

 

“Pak Guru, sekarang saya bertanya, saya yang tidak pantas di sini atau Pak Guru? Menampar anak seenaknya, di ruang guru lagi. Bapak sudah mempermalukan dia di depan kita-kita ini.” Teman-teman yag ada dalam ruangan itu terkejut melihat keberanianku. Mereka melongo melihatku bicara. Mereka mungkin tidak menyangka aku berani bicara lantang seperti itu karena tak ada satupun guru yang berani melawannya atau menasihatinya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ada ya guru seperti itu? Ngeri sekali..smg ia punya kedalaman hati.

23 Jan
Balas

Itulah kenyataannya, Bu

23 Jan

Semoga ini hanya fiksi Bunda.Semangat, lanjutkan

23 Jan
Balas

Semoga cepat sadar pak guru

23 Jan
Balas

Ini Fiksi campur kenyataan. Lebih mengalir kalau kita ambil dari kisah nyata. Terima kasih, Bu Arsiah

23 Jan
Balas

Oh Faksi ya Bu

23 Jan

Iya, Bu

24 Jan
Balas



search

New Post