Dra. Muliati

Menulis itu jiwa dan nyawa. Jika masih bisa menulis berarti jiwa dan nyawa masih sehat. Pupuklah itu selagi ada kesempatan. Menulislah kap...

Selengkapnya
Navigasi Web

Biografi


Menulis itu jiwa dan nyawa. Jika masih bisa menulis berarti jiwa dan nyawa masih sehat. Pupuklah itu selagi ada kesempatan. Menulislah kapan saja dan di mana saja. Sejatinya menulis itu perbuatan mulia. Tentu menulis yang inspiratif dan kontributif. Gila, memang gila Temu Naional Guru Penulis (TNGP) yang dilaksanakan Media Guru (MG) tahun ini. Mengapa saya kataka demikian karena mulai hari pertama Sabtu, 30 November 2019, gedung Balai Kota Jakarta sudah dipenuhi ratusan guru penulis se Nusantara. Lima ratus sebelas guru semuanya berwajah gembira dengan khasnya masing-masing. Kelompok dari Sumbar sepakat memakai baju daerahnya baju kuruang basiba warna orange yang merupakan ciri khas pakaian Minangkabau. Dari Sumatera Utara sepakat memakai Jaket berwarna coklat. Ada juga yang memakai baju batik warna warni sesuai selera.

Di samping kiri dan kanan aula dibuka lapak produk MG diataranya pakaian yang, jaket, rompi, bahkan tas bermerek MG degelar di meja tersebut. Semua produk terjual dalam jumlah yang banyak. Penulis membeli produk bermerek MG dengan gila-gilaan. Alhasil MG mendapatkan keuntungan yang besar dari penjualan produk tersebut.

Di Meja tersebut juga disediakan tempat penjualan buku penulis produk MG, ada yang barter, ada yang membeli. Semua buku habis terjual, bahkan yang secara langsung juga dalam jumlah yang banyak. Hebat program MG. Kegiatan fokus kepada peberian penghargaan kepada pelopor literasi mulai dari Kepala Daerah, Dinas pendidikan, dan guru-guru yang menggerakan literasi di daerahnya masing-masing.

Lebih seru lagi di hari kedua, 1 Desember 2019 kegiatan diadakan di gedung Kemedikbut tempat Mas Nadiem melaksanakan tugasnya. Dimulai dengan curhat sang editor, wawancara dengan guru penulis yang terbanyak di Gurusiana, dan pemberian hadiah kepada guru-guru yang bukunya banyak terjual.

Satu persatu editor dperkenalkan menceritakan suka dan duka menjadi editor MG. Kegiatan di gedung F lantai 6 tersebut juga sangat meriah. Acara dimulai dengan keluh kesah Para Editor di antaranya Yuda dan Yudi. Pesan Mas Yudi, " Jangan bosan bersabar menunggu hasil editan". Rifki Risna, editor yang masih jomlo menemukan banyak naskah yang plagiat". Lain lagi dengan Kun Eka Anti yang bergabung dengan MG mulai tahun 2016 dan menjadi editor 2017, Ibu cantik yang sudah mengedit 600 tersebut mengungkapkan banyak penulis yang sangat antusias agar bukunya cepat selesai. Bahkan ada yang mengirim sinopsisnya tanpa naskah.

Editor Bu Istiqomah yang dikenal dengan editor terkejam menungkapkan, "Banyak ilmu yang didapatkan dari penulis. Di samping itu, penulis suka mengamuk kalau karyanya lambat diedit.” Ia Menyampaikan kesan-kesannya dengan penuh semangat.

Selanjutnya wawancara diadakan kepada guru yang berhasil menulis buku terbanyak. Ada yang menyatakan menulis buku karena ingin menyalamatkan karya yang sudah digrokoti tikus. Lain lagi dengan Meri, karena ia suka berkhayal, mendapat pelajaran, akhirnya menghasilkan dua buku. Abas, anak Bandung asal Sumedang, Terjebak dalam Media Guru judul bukunya sangat menarik. Ia mengikuti kelas menulis empat kali. Ainun, penulis Mahligai Di Sayat Sembilu dari Kepri pengalaman yang pahit. Rahmi Bardar dari Medan menungkapkan dengan bergabung dengan Media Guru bisa bersalaman dengan orang penting. Mukhlis dari Mungo menghasilkan buku dalam satu bulan tiga buku. Salah satunya adalah Matahari bersinar di Adha. Penulis dari Sulawesi yang sangat mengharukan, " Media guru merupakan asbak mengantarkan saya ke Jakarta karena saya belum pernah ke Jakarta, belum.pernah naik peswat, belum pernah melihat kereta api.", katanya. MG memang gila bisa menarik jiwa-jiwa dari daerah yang jauh sampai yang terdekat.

Acara yang tak kalah gilanya menceritakan bagaimana trik penjualan buku agar cepat terjual. Widayanti Ros, dari Sumenep Madura, penulis Batman Techer, peserta Sagu Sabu susulan dari Batu Malang tersebut mengungkapkan agar buku laris harus judulnya menarik dan memiliki nilai jual. Berkat Bu Istiqomah yang memberi judul bukunya, akhirnya bukunya laris manis.

Lain lagi dengan pasangan penulis dari Sumbar, ide dari kisah hidup sendiri sebagai guru yang mana guru banyak terjebak dalam utang piutang di bank. Akhirnya bisa menghasilkan jutaan dari bukunya Menjalani Hidup Tanpa Riba. Mereka punya moto hidup berbagi kebaikan, luruskan niat, diperlukan ummat, dan ikhlas.

Ahmad Saibu, guru MTsn, bukunya laris dengan cara memasarkan buku dikirimkan di media sosial. Dengan motto, gurusiana dulu baru buku kemudian. Lebih gila lagi ibu penulis pemula ini, Bu Yunita memasarkan bukunya dengan cara menskrisut potongan karyanya dan ditampilkan di media sosial, hastek perempuan tegar, hestek gramedia dan selanjutnya diposting di media sosial.

Luar biasa Media Guru, bukan hanya membicarakan masalah menulis buku, memasarkan buku agar terjual laris, kegiatan media guru juga menyentuh hati para penulis. Muhammad Ihsan mengetuk pintu hati untuk menyumbangkan sedikit rezeki membantu peserta yang tertimpa musibah yang rumahnya kebakaran bersal dari Pariaman Sumatera Barat.

Ini yang lebih gila lagi, setelah saya bertemu dengan editor paling sadis Istiqomah. Saya penasaran dan tidak menyia-nyiakan waktu untuk bertemu dengan Beliau. Saya memperkenalkan diri, bahwa saya Muliati calon editor yang gagal dari Sumbar. Beliau memeluk saya dengan sangat kuat dan mencium pipi saya kiri dan kanan. Langsung Bu Isti menjelaskan mengapa saya gagal, bukan karena ketidakmampuan, tetapi tidak disiplin sesuai dengan waktu yang telah diberikan. Dalam percakapan kami Bu Isti berkata, “Seorang editor harus menjadi orang gila. Dalam kesibukan mengajar, kita harus bisa melaksanakan kegiatan sebagai editor. Di atas kereta pun tetap mengedit naskah. Waktu antrean, tetap bisa mengedit. Seorag editor harus bisa menjadi orang gila. Jika tidak, kapan kita akan membaca tulisan guru yang begitu banyak.”

Saya menyambung pembicaraan, “Berarti memang saya tidak ditakdirkan jadi editor karena saya tidak bisa menjadi orang gila sepeti Bu Istiqomah”, pembicaraan pun ditutup. TNGP MG memang gila, seperti saya yang juga gila ingin menulis terus.

DATA PRIBADI

Muliati dilahirkan di Kab. 50 Kota 14 Juli 1967. Lulus dari FPBS IKIP Padang tahun 1990, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat ini mengajar di SMAN 1 Kecamatan Harau, kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat. Selain Mengajar, saya juga membimbing siswa dalam pengembangan diri seperti Forum Ilmiah, Debat, Jurnalistik, Film, Puisi, dan Cerpen.

Penghargaan yang pernah diraih Juara III OGN (Olimpiade Guru Nasional) tahun 2016 Tingkat Kabupaten, Juara 1 Guru Pretasi (Gupres) tingkat Kabupaten tahun 2018. Pernah mengabdi sebagai dosen di UNAMIN (Universitas Al Amin Muhammadiyah) Sorong dari tahun 2000 sampai 2012. Tahun 2008 pernah mendapatkan Dana “Hibah Kompetisi di Unamin Sorong dengan penelitian “ Deskripsi Berbahasa Baku di Unamin Sorong”. Dari tahun 2018 aktif menulis di koran Singgalang dan karya berbentuk buku “Surat Cinta Cik Gu”

search

New Post